Empat tahapan, atau empat kali amandemen terhadap UUD 1945 yang terjadi di era Reformasi, sesungguhnya telah mengubah secara fundamental sistem ketatanegaraan kita. Sebagai salah seorang yang terlibat aktif mendorong terjadinya amandemen sejak era Orde Baru, perubahan-perubahan yang terjadi dalam empat tahapan amandeman itu sungguh di luar dugaan. Usulan amandemen yang pertama kali saya gagas, sebenarnya hanya terfokus pada tiga hal, yakni: Pertama, amandemen terhadap pasal-pasal yang mengatur komposisi keanggotaan MPR, agar lembaga itu tidak sekedar menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan Presiden sebagai “mandataris”. Kedua, amandemen pasal yang mengatur masa jabatan Presiden, agar Presiden tidak memegang tanpa batas, sepanjang setiap lima tahun dipilih kembali, seperti terjadi pada masa Orde Baru. Ketiga, dimasukkannya pasal-pasal tentang hak asasi manusia, sehingga Pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri.
Namun, sekali pintu amandemen dibuka, maka perubahan-perubahan besarpun terjadi. Dengan perubahan-perubahan itu, saya tidak sepenuhnya yakin bahwa batang tubuh atau pasal-pasal UUD 1945 sekarang, mencerminkan pokok-pokok pikiran sebagaimana dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945, yang antara lain memuat dasar falsafah negara Pancasila. MPR yang semula digambarkan Professor Soepomo sebagai “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia” yang anggota-anggotanya terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, melaksanakan kedaulatan rakyat dan memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan dipahami sebagai “lembaga tertinggi negara” kini telah mengalami pergeseran yang sangat fundamental. MPR sekarang tidak lagi menempati posisi itu. Keanggotaannya, yang kini terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD tidak dapat lagi disebut sebagai “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia”. Padahal, inilah esensi bernegara bangsa kita yang diangkat dari konsep masyarakat adat mengenai kekuasaan, dan mendapat pengaruh yang signifikan dari ajaran-ajaran Islam. Saya berpendapat asas “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” kini telah sirna dengan amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan posisi dan kewenangan MPR.
Demokrasi kita yang semula dirumuskan berdasarkan konsep masyarakat adat suku-suku bangsa kita sendiri, yang setelah mendapat pengaruh ajaran Islam, menekankan pada konsep musyawarah dan mufakat, kini telah berganti dengan demokrasi ala Eropah dan Amerika, baik dari segi filsafat maupun dari segi implementasinya di dalam struktur ketatanegaraan. Ketika terjadi proses amandemen, kata kunci yang paling banyak saya dengar selama sidang-sidang, baik Panitia Ad Hoc maupun paripurna MPR, adalah konsep “checks and balances” antar lembaga-lembaga negara, yang sesungguhnya juga tidak tercermin dengan sempurna sebagaimana model struktur kelembagaan negara di Amerika Serikat, tempat konsep itu berasal, melalui proses amandemen tersebut. Saya menilai, proses amandemen telah terjadi dengan kemiskinan filsafat, yakni kelemahan memahami secara utuh dan mendalam landasan falsafah bernegara kita yang sendiri, yang seharusnya dicerminkan ke dalam perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar yang diamandemen. Para politisi anggota MPR sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, ditambah dengan semangat yang menggebu-gebu untuk mengubah secara radikal “executive heavy” di dalam UUD 1945 sebagaimana dipraktekkan oleh pemerintah Orde Baru, sesungguhnya telah gagal untuk merumuskan norma-norma konstitusi yang bukan saja mencerminkan jiwa dan semangat bangsa, tetapi juga corak pengaturan dalam norma-norma konstitusi yang dirumuskan, berpotensi menimbulkan kekacauan penyelenggaraan sistem bernegara, dan dalam beberapa hal, berpotensi menimbulkan krisis konstitusi.
Kekacauan dalam sistem ketatanegaraan yang saya maksud bermula dari ketidakjelasaan lembaga manakah yang memainkan peranan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. UUD 1945 hasil amandemen mengatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perumusan seperti ini tidaklah lazim dalam norma konstitusi di berbagai negara. Sementara pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya tidak secara jelas merumuskan bagaimanakah kedaulatan rakyat itu dilaksanakan. Kekuasaan membentuk undang-undang kini ada di tangan DPR dengan persetujuan bersama dengan Presiden. Namun Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga baru yang belum pernah ada sebelumnya, berwenang untuk menguji dan membatalkan undang-undang jika pengadilan ini berpendapat bahwa norma undang-undang bertentangan dengan norma konstitusi. Maka siapakah yang melaksanakan kedaulatan rakyat dalam konteks seperti ini? DPR dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat yang berdaulat dan mereka secara bersama-sama berwenang membentuk undang-undang. Tetapi Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak dipilih oleh rakyat berwenang membatalkan undang-undang. Dari manakah sumber kekuasaan dan legitimasi Mahkamah Konstitusi itu dalam konteks kedaulatan rakyat, tidak sekedar mendapatkan legitimasi normatif yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar? Dari sudut pandang kedaulatan, kewenangan ini membingungkan. Namun ini bukan tidak berarti bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam praktek penyelenggaraan negara hampir satu dasawarsa terakhir ini tidak ada gunanya untuk mencegah DPR dan Presiden membuat norma-norma hukum positif yang memberikan keleluasaan kepada aparatur penyelenggara negara untuk berbuat sewenang-wenang.
Cerminan dari kekacauan dalam sistem ketatanegaraan itu, berawal dari terjadinya pergeseran kekuasaan eksekutif, yang semula dominan, ke legislatif. Perubahan ini, seperti telah saya katakan, tidak didasari renungan falsafah bernegara yang mendalam dan kecermatan merumuskan norma-norma konstitusi, tetapi lebih banyak dilandasi semangat untuk menolak, dan sekaligus berharap agar tidak terulang lagi praktek “executive heavy” seperti di zaman Orde Baru, walau Orde Lama sebenarnya juga mempraktekkan hal yang sama. Dari sisi semangatnya, hal itu memang patut kita hargai, namun ketika dirumuskan ke dalam norma, terjadilah keanehan-keanehan, seperti rumusan bahwa DPR mempunyai hak anggaran yang cenderung ditafsirkan bahwa DPRlah yang menentukan anggaran, sementara tugas mencari anggaran dan membelanjakannya sesungguhnya adalah tugas eksekuitf. Demikian pula, pengangkatan duta besar dan penerimaan duta besar negara asing yang harus dilakukan dengan pertimbangan DPR, termasuk pemberian grasi, amnesty dan abolisi yang melibatkan Mahkamah Agung dan DPR, sesungguhnya adalah suatu keanehan. Perubahan ini terjadi, seperti saya katakan tadi, semata-mata keinginan untuk mengurangi sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai “executive heavy” agar kekuasaan Presiden tidak lagi besar seperti sebelum amandemen. Akibat dari keanehan ini, maka UUD 1945 hasil amandemen berpotensi melemahkan kedudukan Presiden, bahkan membuatnya hampir tidak berdaya menghadapi DPR yang menjadi begitu kuat kedudukannya. Padahal, kita tetap membutuhkan adanya Pemerintah yang kuat untuk membangun bangsa dan negara ini. Apa yang harus dilakukan dengan amandemen seharusnya adalah mencegah Presiden menjadi diktator. Pemerintah yang kuat dapat terjadi dalam sebuah sistem yang demokratis. Inilah salah satu kegagalan amandemen UUD 1945 yang terjadi di era Reformasi.
Kegagalan itu terjadi pula, karena amandemen tidak merenungkan lebih jauh jika negara mengalami krisis karena kevakuman jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Ketika Presiden dan Wakil Presiden dua-duanya “berhalangan tetap” maka “triumvirat” – suatu konsep yang dulunya berasal dari Ketetapan MPR — yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri mengambil alih pemerintahan sementara. Kalau Presiden dan Wakil Presiden “diimpeach” oleh MPR, dan sebelum diberhentikan Presiden membubarkan kabinet, maka “triumvirat” otomatis tidak ada. Negara akan mengalami “krisis konstitusi” yakni terjadinya sebuah kebuntuan ketatanegaraan yang tidak ada solusinya di dalam Undang-Undang Dasar. Hal yang sama juga dapat terjadi jika penyelenggaraan Pemilihan Umum mengalami kegagalan, maka MPR tidak dapat memperpanjang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. MPR juga tidak berwenang menunjuk seorang Penjabat Presiden. Akibat semua ini, maka negara akan tergiring ke arah krisis konstitusi seperti saya katakan tadi. UUD 1945 hasil amandemen tidak memikirkan dengan sungguh-sungguh adanya norma konstitusi untuk mengatasi keadaan darurat ketatanegaraan. MPR yang dulu dapat mengisi kevakuman norma seperti ini melalui Ketetapan-Ketetapannya, kini tidak mempunyai lagi kewenangan itu. UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kini mencatumkan lagi Ketetapan MPR sebagai bentuk peraturan perundang-undangan. Namun belum jelas betul norma seperti apakah yang dapat ditampung dalam Ketetapan MPR itu. Ketika jabatan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri mengalami kevakuman, maka yang tetap ada ialah Panglima TNI dan Kapolri yang keduanya tidak otomatis berhenti dengan berhentinya Presiden dan Wakil Presiden, karena keduanya bukan lagi bagian dari Kabinet. Presiden bahkan tidak dapat memberhentikan mereka tanpa persetujuan DPR. Dalam suasana vakum dan terjadinya krisis konstitusi seperti itu, maka terbuka peluang bagi Panglima TNI dan Kapolri untuk mengambil-alih kekuasaan. Ini bisa terjadi, kalau mereka menginginkannya dengan alasan demi menyelamatkan bangsa dan negara dari keruntuhan.
Amandemen UUD 1945 bukan saja telah menggeser kekuasaan esekutif ke arah legislatif, tetapi juga telah menciptakan lembaga-lembaga baru, yang belum ada sebelumnya. DPA dihapuskan dan digantikan dengan Dewan Penasehat Presiden, sehingga secara kelembagaan kedudukannya menjadi tidak begitu penting dibandingkan dengan DPA sebelumnya. Kekuasaan kehakiman yang semula berada di tangan Mahkamah Agung, juga mengalami pergeseran dengan diciptakannya lembaga baru, Mahkamah Konstitusi yang secara bersama-sama, dengan kewenangan yang berbeda, melaksanakan kekuasaan kehakiman. Bank Indonesia, juga mendapatkan status sebagai lembaga independen, sehingga menempatkannya menjadi sebuah lembaga negara yang baru. Perubahan-perubahan besar pada kelembagaan negara menimbulkan kerumitan tersendiri dalam hubungan antar lembaga. Sementara, seluruh lembaga itu memerlukan pengaturan yang lebih rinci dalam bentuk undang-undang. Dalam konteks seperti ini, maka politik hukum di bidang ketatanegaraan, bukan saja harus merumuskan landasan falsafah negara di dalam Pembukaan UUD 1945 ke dalam undang-undang, namun penafsiran terhadap norma-norma konstitusi hasil amandemen juga telah menimbulkan problema tersendiri, sebelum norma-norma dasar itu ditransformasikan ke dalam norma undang-undang.
Oleh karena empat kali amandemen boleh dikatakan sudah selesai dan lembaga-lembaga negara sebagian mengalami pergeseran kewenangan, dan sebagiannya lagi memang merupakan lembaga negara yang baru, haruslah diatur dengan undang-undang agar sistem kenegaraan dapat berjalan, maka harus diakui bahwa pembentukan undang-undang di bidang hukum tatanegara dalam kurun waktu tahun 2000 sampai 2004, saat berakhirnya era Kepresidenan Magawati, telah dilakukan dalam waktu yang tergesa-gesa, sehingga dapat dikatakan norma-norma hukum di bidang ketatanegaraan itu jauh dari memuaskan. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, suatu undang mengenai lembaga negara tertentu yang telah disahkan, diamandemen lagi atau bahkan diganti seluruhnya dengan undang-undang yang baru, untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang member peluang kepada perorangan warganegara, lembaga negara, badan hukum publik maupun privat serta masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya oleh undang-undang untuk memohon pengujian undang-undang semakin mempercepat perubahan-perubahan itu. Dengan kewenangan menguji undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi otomatis memainkan peranan “negative legislation”, yang dalam praktiknya, dengan alasan mengisi kevakuman hukum sebelum DPR dan Presiden membentuk norma yang baru, Mahkamah Konstitusi telah mengambil inisiatif untuk mengisi kevakuman itu dengan menciptakan norma yang baru, walaupun kewenangan itu sebenarnya adalah kewenangan dari DPR dan Presiden.
Dalam situasi seperti saya gambarkan di atas, politik hukum di bidang ketatanegaraan memang memerlukan pemikiran yang sungguh-sungguh, yang menurut saya harus mampu mentransformasikan landasan falsafah negara kita sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945, dan menelaah dengan sungguh-sungguh pula kerumitan pengaturan baik berkaitan dengan kewenangan, maupun hubungan antar lembaga-lembaga negara itu yang dihasilkan oleh amandeman UUD 1945. Pada sisi lain, oleh karena hukum tata-negara merupakan bidang hukum yang langsung berhubungan dengan politik, maka kepentingan-kepentingan politik baik di DPR maupun Presiden, dan kekuatan-kekuatan politik yang ada di luarnya, seringkali pula menjadi penghambat dirumuskannya norma-norma hukum di bidang ketatanegaraan yang bersifat ideal dalam perspektif kenegarawanan, karena pertarungan kepentingan sesaat dari kekuatan-kekuatan politik yang berkepentingan langsung dengan norma-norma yang dipandang dapat menguntungkan kepentingan politiknya masing-masing. Keadaan seperti ini tidaklah sehat dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, yang seharusnya meletakkan kepentingan bangsa dan negara itu di atas kepentingan golongan.*****
(Pokok-Pokok Pikiran Disampaikan pada Seminar “Membangun Indonesia Melalui Pembangunan Hukum Nasional” di Hotel Darmawangsa, Jakarta, 8 Desember 2011)